![]() |
| Review Buku Ayah, Ibu... Maaf Terkadang Aku Juga Ingin Menyerah Karya Nadia Natasya Ifada (Foto: Gramedia) |
MYSEKERTARIS.MY.ID - Buku adalah jendela hati dan pikiran. Melalui kata-kata, seseorang bisa menemukan kembali dirinya, menghadapi luka, dan berdamai dengan masa lalu. Itulah yang terasa ketika membaca buku karya Nadia Natasya Ifada berjudul Ayah, Ibu... Maaf Terkadang Aku Juga Ingin Menyerah. Buku ini bukan sekadar kumpulan kata-kata motivasi, tetapi juga pelukan lembut bagi mereka yang sedang berjuang melawan lelah, kehilangan arah, atau merasa hidup tak lagi adil.
Buku ini hadir sebagai pengingat bahwa tidak apa-apa jika seseorang merasa ingin menyerah. Tidak apa-apa jika kamu lelah. Tidak ada kewajiban untuk selalu kuat setiap saat. Lewat kalimat-kalimatnya yang sederhana namun menyentuh, Nadia membawa pembaca untuk menatap kehidupan dengan cara yang lebih lembut—tanpa menghakimi diri sendiri, tanpa memaksa untuk terus berlari ketika hati sedang ingin berhenti sejenak.
Tentang Buku dan Pesan yang Ingin Disampaikan
Buku Ayah, Ibu... Maaf Terkadang Aku Juga Ingin Menyerah pertama kali diterbitkan pada Juli 2025. Dengan harga Rp69.000, buku ini bukan hanya layak dimiliki, tetapi juga pantas dijadikan teman di saat pikiran terasa sesak. Sejak halaman pertama, pembaca disambut dengan sapaan lembut: “Bagaimana kabarmu?” Kalimat sederhana ini terasa seperti suara yang datang dari seseorang yang benar-benar peduli, seseorang yang memahami bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.
Isi buku ini menggambarkan perjalanan batin seseorang yang tengah berjuang di antara tuntutan hidup dan keinginan untuk tetap bertahan. Nadia menulis dengan gaya yang jujur, penuh empati, dan tanpa basa-basi. Ia tidak memaksa pembaca untuk segera bangkit, melainkan mengajak mereka untuk mengenali rasa sakit itu terlebih dahulu. Bahwa terkadang, menerima kelemahan diri sendiri adalah bentuk kekuatan yang sesungguhnya. Setiap paragraf dalam buku ini seperti menyalakan lilin kecil di tengah kegelapan pikiran, memberi harapan bahwa setiap malam yang panjang pasti akan berakhir dengan fajar yang datang membawa cahaya baru.
Suara Hati yang Jujur dan Dekat dengan Realitas
Salah satu kekuatan utama dari buku ini adalah kejujuran dalam penyampaiannya. Tidak ada kalimat motivasi klise yang terdengar menggurui. Semua yang ditulis terasa tulus, lahir dari pengalaman pribadi atau pengamatan mendalam terhadap kehidupan manusia modern yang sering terjebak dalam tekanan. Nadia memahami betul bagaimana rasanya menjadi seseorang yang harus selalu tampak kuat di mata orang lain, padahal di dalam hati ada suara kecil yang ingin berteriak: “Aku juga manusia. Aku juga boleh lelah.”
Buku ini menjadi teman yang menenangkan di tengah dunia yang serba cepat dan menuntut kesempurnaan. Dalam setiap babnya, Nadia seperti berbicara langsung dengan pembaca, menepuk bahu mereka dan berkata, “Tidak apa-apa kalau kamu belum baik-baik saja.” Gaya bahasanya yang lembut membuat pesan-pesannya mudah diterima. Ia tidak menawarkan solusi instan, tetapi memberikan pemahaman bahwa proses menuju pemulihan itu panjang dan butuh waktu.
Gaya Penulisan yang Hangat dan Puitis
Gaya menulis Nadia Natasya Ifada begitu khas—hangat, reflektif, dan penuh nuansa puitis. Kalimat-kalimatnya tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga menyentuh hati secara emosional. Ia mampu menyusun kata-kata yang sederhana menjadi makna yang dalam, seolah setiap kata adalah hasil perenungan panjang tentang kehidupan.
Setiap bab dalam buku ini dapat dibaca secara terpisah, namun tetap memiliki benang merah yang kuat: perjalanan manusia untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Bahasa yang digunakan ringan dan mengalir, membuat buku ini cocok dibaca kapan saja, terutama saat kamu merasa kehilangan arah. Banyak kutipan dari buku ini yang begitu menggugah, membuat pembaca ingin berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu merenung tentang arti hidup dan perjuangan pribadi.
Tema yang Dekat dengan Pembaca Muda
Buku ini terasa sangat relevan bagi generasi muda masa kini yang sering terjebak dalam tekanan sosial, ekspektasi keluarga, dan ketakutan gagal. Judulnya saja sudah sangat menggambarkan isi hatinya banyak anak muda: Ayah, Ibu... Maaf Terkadang Aku Juga Ingin Menyerah. Kalimat itu seperti surat yang tak pernah terkirim, tetapi selalu ada di dalam pikiran banyak orang yang sedang berjuang keras untuk memenuhi harapan orang tuanya.
Melalui buku ini, Nadia seolah berbicara kepada dua sisi kehidupan: kepada anak yang sedang berjuang dan kepada orang tua yang mungkin lupa bahwa anaknya juga manusia biasa. Buku ini membantu pembaca untuk memahami bahwa tidak ada salahnya berhenti sejenak, menangis, dan mengakui kelemahan. Justru dari sanalah muncul kekuatan baru untuk melangkah lagi.
Pesan Tentang Penerimaan Diri dan Harapan
Di balik kesedihan dan rasa lelah yang digambarkan dalam buku ini, tersimpan pesan besar tentang harapan. Nadia mengajak pembaca untuk tidak menolak rasa sakit, melainkan merangkulnya. Karena dari rasa sakit itulah, seseorang belajar tentang keteguhan hati dan makna bertahan. Ia menulis dengan cara yang menenangkan: tidak menuntut pembaca untuk menjadi kuat, tetapi membantu mereka menemukan kekuatan itu di dalam diri sendiri.
Setiap kalimatnya seperti doa lembut yang menenangkan hati. Buku ini mengingatkan bahwa tidak apa-apa merasa rapuh, karena bahkan bunga pun butuh hujan agar bisa tumbuh. Rasa lelah bukan tanda kegagalan, melainkan bukti bahwa kamu sudah berusaha sekuat tenaga. Pesan semacam ini sangat dibutuhkan di zaman ketika semua orang berlomba untuk terlihat sempurna di mata dunia.
Nilai Emosional dan Terapi Lewat Kata
Membaca buku ini terasa seperti menjalani terapi jiwa. Setiap halaman membawa ketenangan dan refleksi. Bagi yang sedang merasa kehilangan semangat, buku ini bisa menjadi teman terbaik. Bagi yang sedang terjebak dalam kesedihan, buku ini bisa menjadi lentera kecil yang membantu menemukan jalan keluar.
Nadia tidak menawarkan kebahagiaan instan. Ia mengajarkan bahwa proses menuju kebahagiaan sejati memerlukan keberanian untuk menghadapi kenyataan, seberapa pahit pun itu. Ia juga mengingatkan bahwa cinta orang tua dan cinta kepada diri sendiri adalah dua hal yang saling melengkapi. Buku ini bukan hanya untuk anak yang merasa tersesat, tetapi juga bagi siapa pun yang ingin belajar memahami dan mencintai dirinya lagi.
Makna di Balik Judul yang Menyentuh
Judul Ayah, Ibu... Maaf Terkadang Aku Juga Ingin Menyerah memuat emosi yang begitu kuat. Ada rasa cinta, rasa bersalah, dan keinginan untuk dimengerti. Judul ini tidak sekadar menarik perhatian, tetapi juga menjadi pengantar bagi isi buku yang penuh refleksi. Kalimat “maaf” di dalamnya mencerminkan beban emosional banyak anak yang merasa tidak boleh lemah di hadapan orang tuanya.
Namun, lewat buku ini, Nadia ingin menghapus stigma itu. Ia ingin menunjukkan bahwa mengakui kelemahan bukan bentuk kegagalan, melainkan langkah awal menuju pemulihan. Rasa ingin menyerah tidak selalu berarti akhir dari perjuangan, kadang itu hanyalah sinyal bahwa seseorang butuh istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
Kesimpulan
Buku Ayah, Ibu... Maaf Terkadang Aku Juga Ingin Menyerah karya Nadia Natasya Ifada adalah karya penuh makna yang layak dibaca oleh siapa pun, terutama oleh mereka yang sedang berjuang dalam diam. Dengan bahasa yang lembut dan pesan yang menenangkan, buku ini memberikan ruang bagi pembaca untuk jujur terhadap perasaannya sendiri.
Nadia mengajarkan bahwa hidup tidak selalu tentang kuat dan bertahan, tetapi juga tentang menerima diri apa adanya. Kadang, kita hanya perlu berhenti sejenak untuk bernapas dan mengingat bahwa kita pantas bahagia, apa pun yang terjadi. Buku ini bukan hanya bacaan, tetapi juga pelukan hangat yang menenangkan hati. Jika kamu sedang mencari teman yang bisa memahami tanpa menghakimi, maka buku ini adalah jawabannya.


0 Comments