![]() |
Review Novel Laiqa: Nomik Hijab for Sisters 3: Setop Ngomongin Rain! (Foto: Gramedia) |
MYSEKERTARIS.MY.ID - Novel remaja kerap menjadi cermin bagi pembacanya. Ia tidak hanya menawarkan hiburan, tetapi juga menghadirkan refleksi hidup yang kadang menyentuh sisi terdalam dari diri kita. Inilah yang terasa saat membaca novel Laiqa: Nomik Hijab for Sisters 3: Setop Ngomongin Rain! karya Anastasha Hardi. Novel ini merupakan bagian ketiga dari serial Hijab for Sisters, sebuah rangkaian cerita yang ditulis dengan gaya ringan namun sarat pesan moral.
Sinopsis Singkat: Hidup Rain yang Berubah Drastis
Rain adalah seorang remaja yang hidup dalam balutan kemewahan. Ia dikenal luas berkat kanal YouTube-nya dengan puluhan ribu subscriber dan jutaan penonton pada acara “Hamba Sahaya Rain.” Hidupnya tampak sempurna: popularitas, pengaruh, serta kepercayaan diri yang menjulang tinggi. Namun, semua itu runtuh dalam satu malam tragis ketika Suri, salah satu peserta tantangannya, ditemukan dalam kondisi hampir meninggal.
Insiden itu menjadi titik balik dalam kehidupan Rain. Ia dikeluarkan dari sekolah, dijauhi oleh lingkungan, dan lebih jauh lagi, orangtua Suri menuntut agar Rain dipindahkan ke sebuah pesantren tradisional di Cirebon. Bagi Rain, ini adalah hukuman yang luar biasa berat. Ia harus meninggalkan zona nyamannya, dunia digital, serta segala bentuk kemewahan yang selama ini ia nikmati.
Kehidupan di pesantren benar-benar berbeda dari apa yang pernah ia alami. Tidur beralaskan tikar sederhana, tinggal sekamar dengan empat teman yang punya kisah hidup menyedihkan, mencuci pakaian sendiri dengan air sumur, makan dengan menu sederhana, dan—yang paling sulit baginya—menjalani hari tanpa ponsel. Pertanyaannya, akankah Rain mampu bertahan, bahkan berubah menjadi pribadi yang lebih baik setelah melewati semua pengalaman tersebut?
Mengulik Tema dan Pesan Moral
Novel ini mengangkat tema yang dekat dengan remaja zaman sekarang: gaya hidup digital, popularitas semu, dan pencarian jati diri. Rain mewakili banyak anak muda yang tumbuh dalam era media sosial, di mana validasi sering kali diukur dari jumlah like, subscriber, dan viewer. Popularitas membawa kesenangan, tetapi juga jebakan: sifat angkuh, kurang empati, dan keengganan melihat dunia nyata.
Namun, penulis dengan cerdas membawa Rain ke ruang yang benar-benar berbeda: pesantren. Perpindahan ini menghadirkan kontras luar biasa—dari dunia glamor ke dunia sederhana yang menuntut kedisiplinan, kebersamaan, dan kesabaran.
Pesan moralnya jelas: popularitas bukanlah segalanya. Hidup yang bermakna justru terletak pada bagaimana kita mampu menghargai orang lain, membangun empati, serta menumbuhkan rasa tanggung jawab.
Karakterisasi: Transformasi Rain dan Teman-Temannya
Salah satu kekuatan novel ini adalah bagaimana Anastasha Hardi membangun karakter tokoh-tokohnya.
Rain, tokoh utama, digambarkan dengan sangat realistis. Di awal, ia adalah sosok yang arogan, merasa paling hebat, dan sulit mendengar kritik. Namun seiring berjalannya cerita, kita diajak menyaksikan proses transformasi dirinya—dari anak muda yang keras kepala menjadi pribadi yang lebih lembut, sabar, dan penuh empati.
Suri, meski kehadirannya lebih singkat, berperan penting sebagai pemicu konflik. Ia adalah simbol dari dampak nyata yang bisa ditimbulkan oleh keangkuhan seseorang di dunia maya.
Empat teman sekamar Rain di pesantren digambarkan dengan latar belakang yang menyentuh: ada yang berasal dari keluarga miskin, ada yang yatim, ada pula yang memiliki beban hidup berat. Kehadiran mereka memberikan perspektif baru bagi Rain bahwa kehidupan tidak selalu berjalan mulus bagi semua orang.
Karakterisasi ini membuat cerita menjadi hidup, dan pembaca dapat ikut merasakan perjalanan emosional Rain dari awal hingga akhir.
Gaya Bahasa dan Narasi
Sebagai penulis yang telah lama berkecimpung di dunia literasi, Anastasha Hardi berhasil menghadirkan narasi yang mengalir, ringan, dan mudah dipahami oleh target pembacanya: remaja. Dialog-dialog terasa alami, penuh dengan percakapan khas anak muda, tetapi tetap menyimpan pesan mendalam.
Yang menarik, novel ini juga memadukan narasi dengan ilustrasi komik (Nomik) karya Hani Widiani. Kombinasi ini menghadirkan nuansa berbeda, membuat pembaca tidak mudah bosan, sekaligus memperjelas situasi-situasi penting dalam cerita. Kehadiran panel komik menjadi selling point tersendiri, apalagi bagi pembaca muda yang terbiasa dengan visualisasi cepat ala media sosial.
Kekuatan Novel
Ada beberapa alasan mengapa novel ini menarik untuk dibaca:
1. Relevansi dengan Kehidupan Modern
Kisah Rain menggambarkan fenomena nyata tentang anak muda yang kecanduan popularitas di dunia maya. Hal ini membuat novel terasa dekat dengan pembaca, terutama generasi yang tumbuh bersama YouTube, TikTok, dan Instagram.
2. Pesan Moral yang Kuat
Tanpa terkesan menggurui, novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna hidup sederhana, pentingnya empati, serta arti tanggung jawab atas tindakan kita.
3. Perpaduan Narasi dan Ilustrasi
Kehadiran komik di dalam novel membuat cerita semakin hidup dan menyenangkan untuk dibaca, bahkan bagi mereka yang biasanya kurang sabar membaca teks panjang.
4. Penggambaran Pesantren yang Realistis
Penulis yang berasal dari Cirebon tentu memahami kehidupan pesantren tradisional. Detail keseharian, mulai dari menimba air sumur hingga makan bersama dengan menu sederhana, tergambar dengan jelas dan autentik.
Kelemahan Novel
Seperti karya sastra lainnya, novel ini juga memiliki beberapa kelemahan. Beberapa pembaca mungkin merasa alur ceritanya agak prediktif, karena kisah transformasi tokoh dari “nakal” menjadi “baik” sering dijumpai dalam cerita remaja. Namun, kekuatan visual dan cara penulis mengeksekusinya tetap membuat novel ini tidak kehilangan daya tarik.
Selain itu, bagi pembaca dewasa, gaya bahasa yang ringan bisa terasa terlalu sederhana. Akan tetapi, hal ini sebenarnya justru menjadi kelebihan karena membuat novel mudah dicerna oleh target utama: remaja dan pembaca muda.
Tentang Penulis
Nama pena Anastasha Hardi digunakan oleh Nimas Aksan, seorang penulis asal Cirebon yang telah lama berkecimpung di dunia literasi. Ia mulai menulis sejak SMP, karyanya banyak dimuat di majalah remaja, dan kini beberapa novelnya telah diterbitkan. Inspirasi tulisannya banyak datang dari Andrea Hirata, Agatha Christie, Asma Nadia, hingga buku-buku Chicken Soup for the Soul.
Serial Hijab for Sisters adalah salah satu karya populernya. Setelah dua buku pertama, kini hadir buku ketiga dengan kisah Rain yang segar, penuh konflik, sekaligus sarat makna.
Data Buku
- Judul: Laiqa: Nomik Hijab for Sisters 3: Setop Ngomongin Rain!
- Penulis: Anastasha Hardi (Nimas Aksan)
- Ilustrator: Hani Widiani
- Penerbit: Elex Media Komputindo
- Tanggal Terbit: 8 April 2024
- ISBN: 9786230057830
- Tebal: 256 halaman
- Ukuran: 19,2 x 12,5 cm
- Berat: 0,2 kg
- Harga: Rp71.250
Kesimpulan
Novel Laiqa: Nomik Hijab for Sisters 3: Setop Ngomongin Rain! bukan sekadar kisah remaja biasa. Ia adalah perjalanan emosional seorang anak muda yang harus melewati titik terendah dalam hidupnya untuk menemukan makna sejati kehidupan. Kisah ini terasa relevan di era ketika popularitas di media sosial sering dianggap sebagai puncak kesuksesan, padahal kenyataannya hidup membutuhkan lebih dari sekadar angka viewer atau subscriber.
Dengan gaya bahasa yang ringan, narasi yang mengalir, perpaduan komik yang menyenangkan, serta pesan moral yang dalam, novel ini layak menjadi bacaan bagi remaja, orangtua, bahkan guru yang ingin memahami dunia anak muda masa kini.
Rain mengajarkan kita bahwa kejatuhan bisa menjadi awal dari kebangkitan, dan bahwa hidup sederhana di pesantren bisa membuka mata tentang arti kebersamaan, empati, serta tanggung jawab.
0 Comments