Makalah Identitas Nasional Mata Kuliah Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan – My Sekretaris

 Berikut ini adalah Contoh dari Makalah Tentang Identitas Nasional, kamu juga bisa download makalahnya dalam bwntuk word (docx) atau pdf nya juga.

MAKALAH

SEJARAH PECI HITAM HINGGA MENJADI IDENTITAS NASIONAL

                                                                                  

Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan Kelas A

 

Oleh:

My Sekertaris

110607062021

 

UNIVERSITAS SEKRETARIS

BANDUNG

2020


ABSTRAK

            Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk yang memiliki keragaman budaya, agama, etnis, dan bahasa yang menjadi unsur dalam identitas nasional. Identitas nasional merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dengan suatu ciri khas yang menjadikannya berbeda dengan bangsa lain. Pembuatan makalah ini menggunakan metode yang digunakan adalah deskripsi kualitatif dengan pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan didapatkan hasil dari pembuatan makalah ini adalah yaitu salah satu identitas nasional bangsa Indonesia adalah penutup kepala yang kita kenal sebagai peci, kopiah, atau songkok. Makalah ini juga mendeskripsikan mengenai sejarah peci hitam hingga menjadi identitas bangsa Indonesia. Identitas nasional digunakan sebagai merek untuk mempersatukan keberagaman Indonesia tersebut. Selain itu, hal ini juga digunakan untuk memperkenalkan akan Indonesia kepada bangsa lainnya.

Kata kunci: Identitas Nasional, Keragaman, Bangsa Indonesia, Peci

 

ABSTRACT

            The Indonesian nation is a pluralistic nation with a diversity of cultures, religions, ethnicities and languages ​​which constitute a national identity. National identity is a manifestation of cultural values ​​that grow and develop in various aspects of life with a distinctive feature that is different from other nations. Making this paper using the method used is a qualitative description with data study through library research and the results of this paper are that one of the national identities of the Indonesian nation is a head covering which we know as a cap, skullcap, or songkok. This paper also describes the history of the black cap to become the identity of the Indonesian nation. National identity is used as a brand to unite Indonesia's diversity. Apart from that, it is also used to introduce Indonesia to other nations.

Keywords: National Identity, Diversity, Indonesian Nation, Cap

KATA PENGANTAR

Saya bersyukur atas kehadiran Allah SWT, karena dengan rahmat dan rahmat-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan tulisan ini. Saya tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman. Amin.

Akhir dari penulis berharap bahwa Tuhan akan membalas mereka, yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah. Amin Yaa Robbal 'Alamiin.

Bandung, 5 Oktober 2020  

  

Penyusun   


DAFTAR ISI

ABSTRAK.. i

ABSTRACT.. i

KATA PENGANTAR.. ii

DAFTAR ISI. iii

DAFTAR GAMBAR.. iv

BAB I PENDAHULUAN..

1.1 Latar Belakang.

1.2 Rumusan Masalah.

1.3 Maksud dan Tujuan Pembahasan.

BAB II PEMBAHASAN..

2.1 Identitas Nasional

2.1.1 Faktor-faktor Identitas Nasional

2.1.2 Unsur-unsur Identitas Nasional

2.1.3 Bentuk-bentuk Identitas Nasional di Indonesia.

2.2 Sejarah Peci Hitam di Indonesia. 11

2.2.1 Peci sebuah Simbolis Komunikasi 15

2.2.2 Peci dan Nasionalisme. 17

2.2.3 Peci Sebagai Identitas Nasional 19

BAB III PENUTUP.. 21

3.1 Kesimpulan. 21

3.2 Saran. 22

DAFTAR PUSTAKA.. 23


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1  Penutup kepala orang Turki yaitu Fez

Gambar 2.2  Rumi Cap atau Topi Rumi 14

Gambar 2.3  Penutup kepala Kuluk Priyayi Jawa. 15

Gambar 2.4  Peci hitam dikenal dengan Kopiah.   

. 17

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk karena masyarakatnya terdiri atas kumpulan kumpulan orang atau kelompok dengan ciri khas yang memiliki beragam budaya dengan latar belakang suku bangsa yang berbeda. Keragaman budaya indonesia memiliki lebih dari ribuan suku bangsa yang bermukim di wilayah yang tersebar di ribuan pulau terbentang mulai dari Sabang sampai Merauke. Adanya berbagai kelompok masyarakat yang beragam, keragaman budaya di Indonesia merupakan sebuah potensi yang perlu di manfaatkan agar dapat mewujudkan kekuatan yang mampu menjawab berbagai tantangan saat ini seperti melemahnya budaya lokal sebagai bagian dari masyarakat.

Hal ini di khawatirkan akan menurunnya kebanggaan nasional yang dapat menimbulkan disintegrasi sosial. Keragaman budaya sebagai kekuatan khasanah budaya merupakan suatu keunggulan dan modal membangun bangsa Indonesia yang lebih maju lagi karena bangsa Indonesia memiliki gambaran budaya yang lengkap dan bervariasi sebagai contoh yaitu di dalam bidang seni. Indonesia sangat berlimpah karya, kreasi, dan keunikan dari keragaman masing-masing baik bentuk dari seni sastra, seni pertunjukan, seni suara, senj tari, dan seni lainnya. Nilai-nilai budaya yang tertanam di dalam masyarakat Indonesia merupakan sebuah kekuatan yang luar biasa dan perlu di manfaatkan dengan baik. 

Dibandingkan dengan negara lain di dunia keragaman budaya di Indonesia sangat bervariasi, unik dan lengkap karena di pengaruhi oleh dengan keadaan alam dengan kondisi geografis, flora dan fauna yang berbeda antara wilayah Indonesia bagian barat, tengah, dan timur. Keunikan dan ke khasan budaya lokal di mulai dari sistem kekerabatan, etika pergaulan, pakaian adat, rumah adat, tarian adat, alat musik tradisional, senjata tradisional, bahasa, instrument, dan pengetahuan kuliner.  Merupakan hal yang sangat menarik pandangan bangsa lain terhadap negara Indonesia banyak yang ingin mempelajari, mencoba, menikmati, bahkan memiliki hasil budaya lokal di negara Indonesia ini banyak para warga asing tertarik dan mempelajari kebudayaan lokal dan adapula yang akhirnya akan menjadi warga negara Indonesia. (Sayutiraka, 2019)

Dengan adanya banyak keragaman di Indonesia baik itu budaya, agama, bangsa, etnis, dan bahasa yang dapat menjadi unsur identitas nasional bangsa Indonesia. Salah satu hal yang dapat menjadi pemersatu bangsa dan menjadi identitas nasional adalah penutup kepala bangsa Indonesia yaitu peci hitam. Peci memiliki nama lain seperti songkok, kopiah, atau sering disebut juga sebagai peci hitam atau hanya peci saja. Peci sering dikenakan oleh para pejabat laki-laki dan masyarakat laki-laki Indonesia yang khususnya sering di gunakan dalam acara baik resmi maupun tidak resmi.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam penjelasan di latar belakang masalah dapat di tarik beberapa pokok masalah agar pembahasan ini tidak menyimpang dan lebih terarah.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1.    Apa yang dimaksud dengan identitas nasional  ?

2.    Bagaimana sejarah peci di Indonesia hingga menjadi tanda identitas nasional ?

1.3 Maksud dan Tujuan Pembahasan

Maksud dari makalah ini adalah untuk mengetahui apa itu identitas nasional dan mengetahui sejarah peci di Indonesia hingga menjadi identitas nasional. Tujuan dari makalah ini adalah untuk mendapatkan pengertian serta hal lainnya yang berkaitan dengan identitas nasional dan mendapatkan sejarah asal-muasal peci di Indonesia hingga menjadi identitas nasional bangsa Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Identitas Nasional

            Istilah identitas nasional (national identity) berasal dari kata identitas dan nasional. Identitas (identity) secara harfiah berarti ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain (ICCE, 2005:23). Sedangkan kata nasional (national) merupakan identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, bahasa maupun non fisik seperti keinginan, cita-cita, dan tujuan. Istilah identitas nasional atau identitas bangsa melahirkan tindakan kelompok (collective action yang diberi atribut nasional) yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk organisasi atau pergerakan-pergerakan yang diberi atribut-atribut nasional (ICCE, 2005:25).

Menurut Kaelan (2007), identitas nasional pada hakikatnya adalah manisfestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan satu bangsa (nation) dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam kehidupannya. Nilai-nilai budaya yang berada dalam sebagian besar masyarakat dalam suatu negara dan tercermin di dalam identitas nasional, bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka yang cenderung terus menerus berkembang karena hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Implikasinya adalah bahwa identitas nasional merupakan sesuatu yang terbuka untuk diberi makna baru agar tetap relevan dan fungsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat. Artinya, bahwa identitas nasional merupakan konsep yang terus menerus direkonstruksi atau dekonstruksi tergantung dari jalannya sejarah.

Hal itu terbukti di dalam sejarah kelahiran paham kebangsaan (nasionalisme) di Indonesia yang berawal dari berbagai pergerakan yang berwawasan parokhial seperti Boedi Oetomo (1908) yang berbasis subkultur Jawa, Sarekat Dagang Islam (1911) yaitu entrepreneur Islam yang bersifat ekstrovet dan politis dan sebagainya yang melahirkan pergerakan yang inklusif yaitu pergerakan nasional yang berjati diri “Indonesianess” dengan mengaktualisasikan tekad politiknya dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dari keanekaragaman subkultur tadi terkristalisasi suatu core culture yang kemudian menjadi basis eksistensi nation-state Indonesia, yaitu nasionalisme.

Identitas nasional sebagai suatu kesatuan ini biasanya dikaitkan dengan nilai keterikatan dengan tanah air (ibu pertiwi), yang terwujud identitas atau jati diri bangsa dan biasanya menampilkan karakteristik tertentu yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain, yang pada umumnya dikenal dengan istilah kebangsaan atau nasionalisme. Rakyat dalam konteks kebangsaan tidak mengacu sekadar kepada mereka yang berada pada status sosial yang rendah akan tetapi mencakup seluruh struktur sosial yang ada. Semua terikat untuk berpikir dan merasa bahwa mereka adalah satu. Bahkan ketika berbicara tentang bangsa, wawasan kita tidak terbatas pada realitas yang dihadapi pada suatu kondisi tentang suatu komunitas yang hidup saat ini, melainkan juga mencakup mereka yang telah meninggal dan yang belum lahir. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa hakikat identitas nasional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD 1945, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi serta mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan baik dalam tataran nasional maupun internasional dan lain sebagainya.

Istilah identitas nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain. Berdasarkan pengertian yang demikian ini maka setiap bangsa di dunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut. Demikian pula hal ini juga sangat ditentukan oleh proses bagaimana bangsa tersebut terbentuk secara historis. Berdasarkan hakikat pengertian “identitas nasional” sebagaimana dijelaskan maka identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan jati diri suatu bangsa atau yang lebih popular disebut sebagai kepribadian suatu bangsa. 

2.1.1 Faktor-faktor Identitas Nasional

Kelahiran identitas nasional suatu bangsa memiliki sifat, ciri khas serta keunikan sendiri-sendiri, yang sangat ditentukan oleh faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional terebut.

Adapun faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional bangsa Indonesia meliputi:

1.    Faktor objektif, yang meliputi faktor geografis ekologis dan demografis

Kondisi geografi-ekologis yang membentuk Indonesia sebagai wilayah kepulauan yang beriklim tropis dan terletak di persimpangan jalan komunikasi antarwilayah dunia Asia Tenggara, ikut memengaruhi perkembangan kehidupan demografis, ekonomis, sosial, dan kultural bangsa Indonesia

2.    Faktor subjektif, yaitu faktor historis, sosial, politik, dan kebudayaan

yang dimiliki bangsa Indonesia (Suryo, 2002).

Faktor historis yang dimiliki Indonesia ikut mempengarui proses pembentukan masyarakat dan bangsa Indonesia beserta identitasnya, melalui interaksi berbagai faktor yang ada di dalamnya. Hasil dari interaksi dari berbagai faktor tersebut melahirkan proses pembentukan masyarakat, bangsa dan negara bangsa beserta identitas bangsa Indonesia, yang muncul tatkala nasionalisme berkembang di Indonesia pada awal abad XX.

Sedangkan menurut Robert de Ventos, sebagaimana dikutip Manuel Castell dalam bukunya, The Power of Identity (Suryo, 2002), mengemukakan teori tentang munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil interaksi antara empat faktor penting, yaitu :

1.    Faktor primer

Faktor ini mencakup etnisitas, teritorial, bahasa, agama dan yang sejenisnya. Bagi bangsa Indonesia yang tersusun atas berbagai macam etnis, bahasa, agama, wilayah, serta bahasa daerah, merupakan suatu kesatuan meskipun berbeda-beda dengan kekhasan masing-masing. Unsur-unsur yang beraneka ragam yang masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri menyatukan diri dalam suatu persekutuan hidup bersama yaitu bangsa Indonesia. Kesatuan tersebut tidak menghilangkan keberanekaragaman, dan hal inilah yang dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika.

2.   Faktor pendorong

Faktor ini terdiri dari pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembangunan lainnya dalam kehidupan negara. Dalam hubungan ini bagi suatu bangsa kemauan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan negara dan bangsanya juga merupakan suatu identitas nasional yang bersifat dinamis. Oleh karena itu bangsa Indonesia proses pembentukan identitas nasional yang dinamis ini sangat ditentukan oleh tingkah, kemampuan, dan prestasi bangsa Indonesia dalam membangun bangsa dan kesatuan bangsa, serta langkah yang sama dalam memajukan bangsa dan negara Indonesia.

3.   Faktor penarik

Faktor ini mencakup kodifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional. Bagi bangsa Indonesia unsur bahasa telah merupakan bahasa persatuan dan kesatuan nasional, sehingga bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara dan bangsa Indonesia. Bahasa Melayu telah dipilih sebagai bahasa antar etnis yang ada di Indonesia, meskipun masing-masing etnis atau daerah di Indonesia telah memiliki bahasa daerah masing-masing. Demikian pula menyangkut birokrasi serta pendidikan nasional telah dikembangkan sedemikian rupa meskipun sampai saat ini masih senantiasa dikembangkan.

4.   Faktor reaktif.

Faktor ini meliputi penindasan, dominasi, dan pencarian identitas alternatif melalui memori kolektif rakyat. Bangsa Indonesia yang hampir tiga setengah abad dikuasai oleh bangsa lain sangat dominan dalam mewujdkan faktor keempat melalui memori kolektif rakyat Indonesia. Penderitaan dan kesengsaraan hidup serta semangat bersama dalam memperjuangkan kemerdekaan merupakan faktor yang sangat strategis dalam membentuk memori kolektif rakyat. Semangat perjuangan pengorbanan menegakkan kebenaran dapat merupakan identitas untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.

Keempat faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia, yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain. Pencarian identitas nasional bangsa Indonesia pada dasarnya melekat erat dengan perjuangan bangsa Indonesia untuk membangun bangsa dan negara dengan konsep nama Indonesia. Bangsa dan negara Indonesia ini dibangun dari unsur-unsur masyarakat lama dan dibangun menjadi suatu kesatuan bangsa dan negara dengan prinsip nasionalisme modern. Oleh karena itu, pembentukan identitas nasional melekat erat dengan unsur-unsur lainnya seperti sosial, ekonomi, budaya, etnis, agama, serta geografis, yang saling berkaitan dan terbentuklah melalui suatu proses yang cukup panjang.

2.1.2 Unsur-unsur Identitas Nasional

Identitas nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu merupakan gabungan dari unsur-unsur pembentuk identitas, yaitu suku bangsa, agama, kebudayaan, dan bahasa.

1.      Suku bangsa: adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak kurang 300 dialek bahasa.

2.      Agama: bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di nusantara adalah agama Islam, Kristcn, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa Orde Baru tidak diakui sebagai agama resmi negara, tetapi sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan.

3.      Kebudayaan: adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.

4.      Bahasa: merupakan unsur pendukung identitas nasional yang lain. Bahasa dipahami sebagai sistem perlambang yang secara arbitrer dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan yang digunakan sebagai sarana berinteraksi antar manusia.

Dari unsur-unsur identitas Nasional tersebut dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian sebagai berikut:

1)      Identitas Fundamental, yaitu Pancasila yang merupakan Falsafah Bangsa, Dasar Negara, dan ldeologi Negara.

2)      Identitas Instrumental, yang berisi UUD 1945 dan Tata Perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan "Indonesia Raya".

3)      Identitas Alamiah yang meliputi Negara Kepulauan (archipelago) dan pluralisme dalam suku. bahasa, budaya, serta agama dan kepercayaan.

2.1.3 Bentuk-bentuk Identitas Nasional di Indonesia

Secara lebih rinci beberapa bentuk identitas nasional Indonesia, adalah sebagai berikut:

1.         Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional atau bahasa persatuan. Bahasa Indonesia berawal dari rumpun bahasa Melayu yang dipergunakan sebagai bahasa pergaulan yang kemudian diangkat sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 Oktober 1928. Bangsa Indonesia sepakat bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional sekaligus sebagai identitas nasional Indonesia.

2.         Sang Merah Putih sebagai bendera negara. Warna merah berarti berani dan putih berarti suci. Lambang merah putih sudah dikenal pada masa kerajaan di Indonesia yang kemudian diangkat sebagai bendera negara. Bendera merah putih dikibarkan pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1945, namun telah ditunjukkan pada peristiwa Sumpah Pemuda.

3.         Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Lagu Indonesia Raya pertama kali dinyanyikan pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam Kongres Pemuda II. Burung Garuda yang merupakan burung khas Indonesia dijadikan sebagai lambang negara. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara yang berarti berbeda-beda tetapi satu jua. Menunjukkan kenyataan bahwa bangsa kita heterogen, namun tetap berkeinginan untuk menjadi satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia.

4.         Pancasila sebagai dasar falsafat negara yang berisi lima dasar yang dijadikan sebagai dasar filsafat dan ideologi negara Indonesia. Pancasila merupakan identitas nasional yang berkedudukan sebagai dasar negara dan pandangan hidup (ideologi) bangsa.

5.         UUD 1945 sebagai konstitusi (hukum dasar) negara. UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang menduduki tingkatan tertinggi dalam tata urutan peraturan perundangan dan dijadikan sebagai pedoman penyelenggaraan bernegara.

6.         Bentuk negara adalah Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Bentuk negara adalah kesatuan, sedang bentuk pemerintahan adalah republik. Sistem politik yang digunakan adalah sistem demokrasi (kedaulatan rakyat). Saat ini identitas negara kesatuan disepakati untuk tidak dilakukan perubahan.

7.         Konsepsi wawasan nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungan yang serba beragam dan memiliki nilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.

8.         Kebudayaan nasional sebagai puncak dari kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah diterima sebagai kebudayaan nasional. Berbagai kebudayaan dari kelompok-kelompok bangsa di Indonesia yang memiliki cita rasa tinggi, dapat dinikmati dan diterima oleh masyarakat luas sebagai kebudayaan nasional.

Tumbuh dan disepakatinya beberapa identitas nasional Indonesia itu sesungguhnya telah diawali dengan adanya kesadaran politik bangsa Indonesia sebelum bernegara. Hal demikian sesuai dengan ciri dari pembentukan negara-negara model mutakhir. Kesadaran politik itu adalah tumbuhnya semangat nasionalisme (semangat kebangsaan) sebagai gerakan menentang penjajahan dan mewujudkan negara Indonesia. Dengan demikian, nasionalisme yang tumbuh kuat dalam diri bangsa Indonesia turut mempermudah terbentuknya identitas nasional Indonesia.  (Sulisworo, Wahyuningsih, & Arif, 2012)

2.2 Sejarah Peci Hitam di Indonesia

Peci kali pertama diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Arab yang menyebarkan agama Islam tepatnya pada abad ke-8. Peci sangat popular di masyarakat Melayu seperti Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Peci telah berkembang dan mewarnai masyarakat Melayu sekitar abad ke-13. Masuknya Islam ke nusantara melalui pantai jazirah Melayu, yaitu Malaka. Pelabuhan yang sering dikunjungi oleh pedagang-pedagang muslim dari Gujarat dan Persia. Dalam abad ke-13 mereka membawa agama Islam berawal dari pantai timur Aceh, kemudian Malaka, selanjutnya sepanjang rute dagang ke pulau rempah-rempah di Indonesia Timur, juga ke kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa Timur.

Masuknya Islam ke Indonesia melalui suatu negara yang berada di pantai Jazirah Melayu, yaitu Malaka. Dalam abad ke-13 para pedagang Arab datang dengan membawa agama Islam, berawal dari pantai timur Aceh, kemudian menuju ke Malaka, dan selanjutnya sepanjang rute dagang ke pulau rempah-rempah di Indonesia Timur, dan juga ke kota-kota pelabuhan di pantai utara pulau Jawa. Pedagang-pedagang Jawa dari kota-kota pelabuhan dagang seperti Gresik, Demak, dan Tuban pergi berdagang ke Malaka. Begitupula sebaliknya, pedagang-pedagang Islam dari Malaka juga mengunjungi pulau Jawa.

Terjadi banyak spekulasi terkait historiografi peci di Indonesia. Pada tahun 1495, Sultan Ternate, Zainal Abidin, menitipkan pemerintahan kepada keluarganya. Hal itu dikarenakan sang Sultan akan melawat ke Jawa guna memperdalam ilmu agama dan tujuannya adalah Sunan Giri, Gresik. Ketika itu situasi perniagaan antara Jawa dengan Haitu (di Pulau Ambon) telah ramai, sehingga memudahkan umat Islam dari Jawa ke Maluku dan orang Maluku yang akan ke Jawa.

Di Jawa, Raja Ternate, Zainal Abidin, dikenal sebagai Raja Bulawa, artinya raja cengkeh. Karena, ia membawa cengkeh dari Maluku sebagai buah tangan. Sekembalinya ke Ternate dia membawa sebuah peci sebagai buah tangan. Peci dari Giri dianggapnya sebagai barang yang magis dan sangat dihormati serta ditukar dengan rempah-rempah terutama cengkeh. Hingga pada perkembangan selanjutnya, penduduk Ternate banyak yang menuntut ilmu agama Islam ke tanah Jawa, yaitu ke pesantren di Gresik. Santri Giri yang pulang ke kampung halaman mereka juga selalu membawa peci sebagai buah tangan. Sehingga peci mampu menyebar ke seluruh penjuru nusantara. Dijelaskan dalam hikayat tanah Hitu yang ditulis oleh Rijali, bahwa Raja Zainal Abidin ketika pergi ke Gresik diantar oleh Perdana Jamilu dari Hitu.

Selama di Giri, Raja Ternate, Zainal Abidin, menjalin kekerabatan yang baik dengan orang-orang Jawa. Terbukti ketika kembali ke Ternate dia membawa muballigh bernama Tuhubahanul yang membantu penyebaran Islam ke seluruh kepulauan Maluku. Tuhunahanul mengajarkan kepada rakyat Ternate agar menjadi muslim yang baik. Mereka juga ditekankan kepada kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan sebagai pemeluk Islam. Salah satu yang diajarkan yakni sikap ramah dan pemaaf terhadap sesama manusia.

Penyebaran agama Islam di Maluku tidak seperti Jawa melalui perpecahan karena perebutan kekuasaan. Melainkan dengan cara perdagangan. Oleh karena itu, peci pada zaman Sunan Giri tidak sekedar menjadi alat barter perdagangan saja. Tetapi telah menjadi sarana Islamisasi nusantara.

Pendapat lain mengungkapkan bahwa peci di Indonesia diperkenalkan oleh laksamana Ceng Ho. Peci berasal dari kata Pe yang bermakna delapan. Sedangkan Chi bermakna energi. Dengan demikian, peci memiliki makna sebagai penutup bagian tubuh yang mampu memancarkan energinya ke delapan penjuru mata angin (arah mata angin : Utara, Timur Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat, Barat, Laut) . Laksamana Cheng Ho adalah seorang kasim muslim yang menjadi orang kepercayaaj Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Hal itu merujuk pada penutup kepala yang dipakai oleh Cheng Ho ketika berlayar ke Indonesia.

Pendapat lain bahkan menyebutkan bahwa peci di Indonesia diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga. Ketika itu, Sunan Kalijaga tengah membuat mahkota atau kuluk yang diperuntukkan khusus bagi Sultan Fattah. Kuluk yang dibuat oleh Sunan Kalijaga mirip dengan peci, hanya saja ukurannya lebih besar dari peci yang kita kenal saat ini.

Rijckloff van Goens menyebut Peci sebagai penutup kepala gaya Turki ketika mengunjungi istana Mataram sebagai wakil dari VOC saat acara Pisowanan yang diadakan oleh Amangkurat I (1646-1677) pada pertengahan abad ke-17. Bahwa sekitar empat, lima, enam, tujuh, sampai 800 bangsawan berkuda berkumpul di alun-alun dan dengan sangat tekun mengamati dandanan kepala sang raja, apakah memakai penutup kepala khas Jawa atau penutup kepala bergaya Turki. Gresik dikenal sebagai kota bandar (pelabuhan), posisi Gresik berada dalam lintasan penyebaran agama Islam.

Dari beberapa historiografi mengenai hadirnya peci di Indonesia, para sejarawan belum ada kesepakatan yang tunggal hingga akhirnya menimbulkan spekulasi. Bahwa setelah keberadaan peci Arab jarang ditemukan, disaat itu pula berkembang penutup kepala di beberapa negara Islam yang betuknya mirip dengan peci. Konon sebutan peci ini berasal dari kata fezzi atau phecy yang mengacu pada tutup kepala orang Turki yaitu Fez.

Gambar 2.1 Penutup kepala orang Turki yaitu Fez

(Sumber : www.turkishemporium.co.uk)

 

Fez merupakan peninggalan dari Yunani. Dimana ketika Turki Ottoman mengalahkan Yunani Byzantium (Anatolia) maka Turki Ottoman mengadopsi budaya penggunaan topi fezi ini terutama ketika pemerintahan Sultan Mahmud Khan II (1808-1839). Peci tersebut akhirnya membawa pengaruh budaya yang besar apalagi di Asia Tenggara, beberapa negara juga mengenal peci seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei. Sedangkan di Thailand mengenalnya dengan nama Songkok. Di Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh) penutup kepala ini dikenal dengan nama Roman Cap (Topi Romawi) atau Rumi Cap (Topi Rumi). Sedangkan di Mesir penutup kepala ini dikenal dengan nama tarboosh.

Gambar 2.2 Rumi Cap atau Topi Rumi

(Sumber : https://www.turkeyfamousfor.com) 

Penutup kepala kuluk yang biasanya dipakai oleh golongan priyayi memiliki kemiripan dengan tarbus Turki. Kuluk yang dipakai priyayi di Jawa yang memiliki bentuk kerucut terpotong tanpa potongan. Sedangkan turban atau tarbus memiliki bentuk yang bulat panjang, berwarna merah dan memiliki kuncir yang dikenal dengan nama Fez ini merupakan tutup kepala resmi Dinasti Utsmaniyyah di Turki. 

Dengan demikian kuluk dan penutup kepala gaya Turki memiliki kesamaan, meskipun belum dinamakan peci.Dengan demikian peci hitam merupakan hasil akulturasi dari penutup kepala berbagai negara serta budayanya dengan kepribadian bangsa Indonesia yang khas. Selain itu dapat kita ketahui bahwa peci juga hasil akulturasi dari budaya Indonesia sendiri yakni penutup kepala golongan priyayi (kuluk). Dengan terciptanya peci hitam tersebut pada akhirnya tidak pernah lepas dan selalu melekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia tanpa memandang agama, ras, maupun suku. (Najiyah, 2019)


2.2.1 Peci sebuah Simbolis Komunikasi

            Peci, merupakan istilah lain dari penutup kepala yang sering digunakan oleh seorang pria muslim untuk acara-acara keagamaan maupun acara resmi lainnya. Peci sebagai sebuah penutup kepala bagi umat Islam di Indonesia menjadi sebuah sejarah panjang, dari sebuah nilai keagamaan menjadi sebuah nilai ideologi berbangsa. Peci memasuki wilayah pemikiran simbolis para pemimpin Indonesia dalam sejarah perjalanan bangsa. Bagaimana sebuah Peci menjadi sebuah “Visual bergerak”  untuk melambangkan bahwa pemakaiannya adalah seorang pemimpin yang nasionalis sekaligus agamis, khususnya Soekarno sebagai pencetus lahirnya Pancasila dan yang mempopulerkan peci sebagai simbol nasionalisme, menjadikan peci menjadi sebuah hal yang sangat menarik. Sangat menarik memang mengambil hubungan antara sebuah peci dengan Pancasila yang memiliki lima sila sebagai dasar negara RI. Diawali dengan cerita bagaimana sebuah peci hadir di dalam masyarakat Indonesia dan juga cerita sejarah pertama kali Soekarno sebagai pemimpin bangsa ingin menjadikan peci sebagai identitas nasional, lalu dihubungkan dengan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Apa arti sebuah peci dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, bagaimana sebuah peci bermakna mendalam pada sebuah ideologi bangsa? Keinginan ingin membuka sebuah semiotik semantik dalam perkara peci sebagai penutup kepala sangatlah menggelitik untuk dikaji. (Kertamukti, 2013)

Gambar 2.4 Peci hitam dikenal dengan Kopiah

(Sumber : m.kaskus.id) 

Berpeci dalam kegiatan kemasyarakatan di Indonesia adalah sebuah bentuk simbol pergaulan yang setara dan sederhana. Penyetaraan dan kesederhanaan itu terlihat dalam bentuk sebuah peci yang biasanya hanya terdiri satu unsur warna hitam dan bentuk peci yang seperti tabung mengikuti kepala penggunanya. Penggunaan peci atau songkok di Indonesia telah dianggap sebagai hasil budaya. Budaya sendiri adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi, berupa bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistemologis dari sistem pengetahuan masyarakatnya (Kuntowijoyo, 1987).

2.2.2 Peci dan Nasionalisme

Peci sebuah penutup epala berwarna hitam semakin populer saat Presiden Soekarnomengenakannya. Di zaman pergerakan pada awal abad ke 20, peci dijadikan sebagai identitas nasional, simbol kebangsaan dan simbol Indonesia. Cindy Adams dalam sebuah bukunya berjudul 'Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat' menjelaskan pada awal abad 20, kaum pergerakan sangat membenci pemakaian blangkon dan sarung karena dianggap identik dengan kalangan feodal. Dalam sebuah rapat (vergadering) Jong Java pada Juni 1921 yang dihadiri tokoh-tokoh pergerakan nasional, Soekarno saat itu berusia 20 tahun. Ia mengamati kawan-kawannya yang berlagak enggan memakai tutup kepala dan hendak meniru gaya penjajah Barat.

Gambar 2.5 Penutup kepala pria Jawa yaitu Blangkon

(Sumber : pintarnesia.com) 

Sebagai angsa yang sudah mulai menyadari arti penting kemerdekaan, tentu saja ndonesia harus memiliki simbol-simbol pemersatu. Dalam kondisi seperti itulah Soekarno membangun argumentasi dan menjadikan peci sebagai simbol identitas angsa dan pergerakan nasional. Dalam pandangan Soekarno, peci adalah tutup kepala yang banyak dipakai oleh para buruh di semenanjung Melayu. Perjuangan Soekarno sendiri memang identik dengan mengangkat harkat dan derajat bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bukan perkara mudah untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Soekarno sendiri membutuhkan rakyat sebagai pijakan dasar perjuangan. "Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka," kata Soekarno saat menggelar orasi di rapat Jong Java.

Sejak saat itulah Soekarno dalam setiap penampilannya identik dengan peci beludru hitam. Soekarno juga mengkombinasikan peci hitam dengan dasi, jas dan kemeja, sebagai simbol kesamaan derajat antara bangsa terperintah dengan bangsa yang memerintah.

Soekarno sendiri bukanlah orang pertama kali yang mengenakan peci dengan beludru hitam, adalah Tjipto Mangunkusumo yang merupakan salah satu tokoh tiga serangkai orang yang pertama kali mengenakan peci berwarna hitam. Pada tahun 1908, peta politik global mengalami perubahan drastis. Kesultanan Turki Ottoman dilanda gerakan perubahan. Timbul gerakan dari generasi muda yang ingin melakukan perubahan di kekhalifahan Islam terakhir tersebut. Bahkan anak-anak muda Turki dan kaum intelektual menggunakan tutup kepala 'Fez' dengan corak warna merah. Di dalam negeri sendiri penggunaan Fez diikuti oleh Ki Hajar Dewantara.

Rozan Yunos dalam sebuah bukunya berjudul 'The Origin of The Songkok or Kopiah' dalam The Brunei Times pada tanggal 23 September 2007 menjelaskan bahwa penggunaan peci sudah dikenal luas di Asia Tenggara. Peci sendiri dikenalkan oleh para pedagang Arab yang menyebarkan agama Islam di kawasan Asia Tenggara. Namun demikian pandangan Rozan menimbulkan spekulasi sebab kini tidak terlihat lagi orang-orang Arab mengenakan peci berwarna hitam. Kalangan Arab sendiri identik dengan turban atau sorban berwarna putih yang dililitkan di atas kepala.

Di dalam negeri sendiri pada abad ke-20 seiring dengan semakin besarnya pengaruh Soekarno dalam dunia pergerakan nasional, peci semakin identik dengan lambang dan identitas nasionalisme. Dalam rapat-rapat akbar hampir semua kalangan intelektual, cendikiawan dan kalangan terdidik menggunakan peci sebagai penutup kepala. Dalam sebuah rapat Partindo pada tahun 1932 nampak para peserta juga mengenakan peci beludru hitam, sama persis dengan peci yang dikenakan Soekarno. Seiring dengan berjalannya waktu, peci kini menjadi busana formal yang kerap dikenakan para pejabat negara. Bahkan sejumlah penggiat demokrasi dan aktivis sosial juga terlihat mengenakan peci. (Nurrizki, 2015)

2.2.3 Peci Sebagai Identitas Nasional

Peci atau yang kadang dikenal sebagai kopiah dan songkok ini memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan bagi laki-laki Indonesia. Meskipun setiap daerah tentunya mengenal penutup kepala yang berbeda. Tapi peci hitam ini pada akhirnya mampu mempersatukan isi kepala dari semua kalangan. Tukang sate sampai presiden sampai saat ini masih gemar mengenakan penutup kepala berwarna hitam itu. Dalam acara kenegaraan, presiden lebih sering mengenakannya.

Jika ditelisik lebih mendalam, pemakaian peci hitam bukanlah sekedar aksesoris untuk mempercantik penampilan. Di balik itu ternyata tersimpan makna mendalam hingga akhirnya mampu tertancap hingga sekarang. Meski peci sudah dikenal jauh sebelum kolonialisme tumbuh subur di Indonesia, namun pada akhirnya penutup kepala berwarna hitam itu menurutnya berhasil menyatukan Indonesia menjadi negara yang merdeka. (Anggraeni, 2015)

Sebelum mengenal peci, masyarakat di Jawa menjadikan blangkon sebagai identitas bangsa. Soekarno sendiri sejak kecil mengenakan blangkon sebagai penutup kepala, begitu pula H.O.S Tjokroaminoto yang selalu mengenakan blangkon sampai diikuti oleh para muridnya. Sedangkan peci sendiri sudah diperkenalkan pada orang Islam di Indonesia sejak abad ke-13, lalu suatu ketika Soekarno melantangkan kalimat bahwa peci merupaka identitas bangsa, sejak itulah peci tidak lagi identik dengan kaum muslim.

“Tutup kepala yang paling lazim digunakan adalah peci atau kopiah yang terbuat dari beludru hitam, yang semula merupakan salah satu bentuk kerpus Muslim. Setelah diterima oleh Sukarno dan PNI sebagai lambang nasionalisme, peci mempunyai makna lebih umum,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya.

Bagi Soekarno sendiri, peci menjadi simbol kepemimpinan. Setidaknya itulah yang ia perdebatkan dengan dirinya sendiri ketika akan menghadiri rapat Jong Java. Ia katakan pada dirinya, "Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin? Aku seorang pemimpin! Kalau begitu buktikanlah. Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam dan masuklah ke ruang rapat. Sekarang!" Hingga akhir hayatnya Soekarno setia mengenakan peci di setiap acara penting. Pun akhirnya ini diikuti oleh para kaum terpelajar dan pemimpin bangsa yang mengenakan peci di acara-acara formal. Jas, dasi, dan kemeja sebagai pakaian formal yang lazim dikenakan oleh elit Barat memang kita ikuti, namun yang membedakan bahwa kita adalah Indonesia berada pada penggunaan peci di kepala. (Budi, 2017)

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Indonesia adalah negara majemuk yang memiliki banyak keragaman, oleh karena itu Indonesia harus memiliki alat pemersatu bangsa yaitu Identitas Nasional. Identias Nasional adalah perwujudan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan satu bangsa dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam kehidupannya.

Seperti halnya bangsa Indonesia yang memiliki ciri identitas dalam berpakaian yang dikenakan oleh masyarakatnya terutama masayarakat laki-laki yang mengenakan penutup kepala Peci hitam, dikenal juga sebagai kopiah atau songkok. Peci bukan berasal dari kebudayaan Indonesia, tetapi desainnya kemudian berkembang. Penyebaran serta penggunaan peci sudah merata pada sebagian besar masyarakat Indonesia.

Peci hitam menjadi populer setelah sering dipakai oleh Soekarno, karenakan citra peci yang melekat pada dirinya. citra Soekarno sangat melekat sebagai pemimpin bangsa Indonesia sehingga muncul kesepakatan sosial secara luas bahwa kopiah/peci hitam polos identik dengan identitas bangsa Indonesia. Hingga akhir hayatnya Soekarno setia mengenakan peci di setiap acara penting. Pun akhirnya ini diikuti oleh para kaum terpelajar dan pemimpin bangsa yang mengenakan peci di acara-acara formal. Jas, dasi, dan kemeja sebagai pakaian formal yang lazim dikenakan oleh elit Barat memang kita ikuti, namun yang membedakan bahwa kita adalah Indonesia berada pada penggunaan peci di kepala.

3.2 Saran

Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini tetapi kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan ke depannya. Semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin.

 

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, P. (2015, Juni 15). Peci Hitam dan Identitas Bangsa Indonesia. Diambil kembali dari Malang Times: https://www.malangtimes.com/baca/28551/20180615/110031/peci-hitam-dan-identitas-bangsa-indonesia (diakses pada 4 Oktober 2020)

Budi, A. (2017, Maret 2). Peci dan Identitas Bangsa. Diambil kembali dari Good News From Indonesia: https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/03/02/peci-dan-identitas-bangsa (diakses pada 4 Oktober 2020)

Kertamukti, R. (2013). Komunikasi Simbol : Peci dan Pancasila. Profetik: Jurnal Komunikasi, 54.

Kuntowijoyo. (1987). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Najiyah, S. F. (2019). Sejarah Penutup Kepala Di Indonesia : Studi Kasus Pergeseran Makna Tanda Peci Hitam (1908-1949). Skripsi, 44-49.

Nurrizki, A. (2015, Februari 21). Peci dan Identitas Nasionalisme. Diambil kembali dari Merah Putih: https://merahputih.com/post/read/peci-dan-identitas-nasionalisme (diakses pada 4 Oktober 2020)

Sayutiraka, M. (2019, Februari 26). Keanekaragaman Budaya Bangsa Indonesia. Diambil kembali dari Kompasiana: https://www.kompasiana.com/muksonraka/5c74de03aeebe1642c440ff6/keanekaragaman-budaya-bangsa-indonesia?page=1 (diakses pada 4 Oktober 2020)

Sulisworo, D., Wahyuningsih, T., & Arif, D. B. (2012). Hibah Materi Pembelajaran Non Konvensional : Identitas Nasional. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.

 

 

 

Baca Juga